Iron Man
Tony Stark(Robert Downey Jr.) adalah ilmuwan jenius yang menjadi direktur dari Stark Industries, sebuah perusahaan persenjataan besar yang diturunkan dari mendiang ayahnya. Sifatnya yang tidak mau serius dan playboy menutupi fakta bahwa ia adalah jenius yang lulus dari MIT saat berumur 17 tahun dengan gelar cum laude. Sang asisten, Pepper Potts (Gwyneth Paltrow) membantunya dalam kegiatan sehari-hari dan partner sang mendiang ayah, Obadiah Stane(Jeffrey Bridges), dipercaya mengurus kegiatan perusahaan. Untuk mengadakan tes misil terbarunya, “Jericho”, ia pergi ke afganistan ditemani sahabatnya, Letkol James Rhodes(Terrence Howard). Tanpa dugaannya, ia diculik oleh anggota teroris bernama Ten Rings. Sebuah elektromagnet telah ditanam di dekat jantungnya yang membuatnya mengalami cardiac arrest jika magnet itu diangkat. Pemimpin grun Ten Rings menjanjikannya kebebasan asalkan ia mau membuatkan replika misilnya di gua tempat ia disekap. Bersama sesama tahanan, Dr. Yinsen, ia membuat sebuah suit armor yang kelak dinamakan Iron Man.
Saat film ini booming banget di tahun 2008, gw merasa reluctant untuk menonton. Selain ketidaktahuan gw akan tokoh ini, gw entah kenapa males aja gitu untuk nonton. Setelah hari ini diajak nonton sekuelnya di bioskop, gw akhirnya nonton film pertamanya di HBO yang kebetulan lagi di puter. Adegan-adegan action di film ini dipoles dengan sangat top notch dan seru. Meskipun dialognya lumayan banyak, permainan Robert Downey Jr yang belum begitu booming dulu, begitu fresh dan kuat. Mimiknya yang khas menjadi ciri khas yang susah dielakkan. Gwyneth Paltrow mungkin sedikit underused. Gw hampir gak bisa ngenalin si Jeff Bridges yang tampil botak dan Terrence Howard sayangnya aktingnya kurang kuat sebagai si sidekick.
Meskipun begitu, entah kenapa gw gak merasa sebegitu excitednya. Bisa dibilang film ini gak begitu beda dengan superhero flick yang dirilis akhir-akhir ini. Meskipun film ini jauh lebih bagus daripada X-Men Wolverine, Ghost Rider dan Fantastic Four, gw tetep gak bisa menyandingkannya dengan film sekaliber The Dark Knight atau Spiderman. Something is missing, membuat film ini jadi biasa aja. Exciting while it lasts, fortgetable after it done.
Verdict :7/10
Langsung dilanjutkan dari scene terakhir film pertamanya, Stark dipaksa menyerahkan hasil ciptaanya kepada US Government atas kekhawatiran mereka kepada teroris-teroris di korea, irak, dan russia. Hal ini mentah-mentah ditolak oleh Stark yang ingin memfokuskan waktunya yang tersisa untuk meluncurkan Stark Expo kedua setelah tahun 1974, ayahnya mengadakan expo pertama. Perlahan namun pasti, racun semakin menyebar di darahnya akibat penggunaan arc reactor yang menopang jantungnya. Berbagai hal ia lakukan seperti meminum klorofil yang tidak membawa banyak perubahan. Hal diperumit saat Ivan Vanko (Mickey Rourke), anak dari partner sang ayah yang tertipu puluhan tahun yang lalu, menuntut balas dendam dengan berhasil membuat arc reactornya sendiri. Ivan dibantu oleh Justin Hammer (Sam Rockwell) saingan Stark yang ingin mempermalukannya. Bersama asisten barunya, Natalie Rushman (Scarlett Johannson) dan James Rhodes (Don Cheadle), Tony Spark berusaha menggagalkan usaha mereka memporakporandakan Stark Expo 2010.
Menonton film ini adalah kebalikan dari menonton Avatar. Iron Man 2 : 2 jam 15 menit yang entah mengapa terasa lama sekali. Avatar : 3 jam yang tidak terasa sama sekali. Ceritanya lumayan seru. Adegan actionnya tidak sedikit, tapi tetap saja durasinya terasa begitu lama dan diulur-ulur. Dialog-dialognya tidak se-cheesy film-film action standar yang gw sebut di review iron man 1, tetapi tetap tidak sekuat dialog-dialog di film pertama. Sialnya lagi, Mickey Rourke tidak sebegitu menyeramkannya untuk menampilkan kesan peran antagonis yang superior. Sam Rockwell berusaha menjadi Comic Relief yang joke-jokenya gak bisa gw tangkep. Don Cheadle menggantikan Terrence Howard yang sama-sama bermain standar. Gwyneth Paltrow bermain lebih baik dan Scarlett Johannson memerankan perannya sebagai eye-candy dengan baik.
Yang lebih mengecewakan lagi, adegan finalnya terasa sangat anti-klimaks dan rushed. Showdown terakhirnya selesai dalam waktu kurang dari 2 menit dan gw gak merasa puas sama sekali. Andaisaja si pembuat tidak muluk-muluk ingin membuat film ini sedikit lebih serius dan menambahkan lebih banyak lagi porsi action, mungki gw dan beberapa kritik lain akan menikmati film ini lebih. Lessen the dialouges, boost the flashy action scene! Film ini, seperti kebanyakan sekuel lainnya, mendapatkan suntikan budget yang lebih besar. Hal itu membawa dua hal, adegan action yang semakin flashy dan seru (meski tidak sebanyak seharusnya) dan naskah yang mengalami penurunan signifikan berakibat pada kualitas yang merosot dari film pertamanya.
Verdict : 6/10
No comments:
Post a Comment